Thursday, April 22, 2010

blast from the past

“Aku adalah perempuan yang menghitamkan pelangi, yang merubah sayap cantik kupu-kupu menjadi seonggok debu. Menghancurkan semua yang pernah kusentuh, meluruh bersama guyuran hujan. Aku adalah dosa yang membayangi kemana kaki melangkah. Menyesakkan setiap milimeter ruang dalam paru-paru yang berusaha menghirup udara. Adakah aku layak bertahan dalam hidup, yang bukan milikku, yang bukan untukku.

Pernah singgah masa dimana aku merasa merajai dunia. Melihat semua warna-warni yang pernah dibuat Sang Maha Pencipta. Meraba seluruh permukaan halus sempurna yang terpahat pada setiap sudut waktu. Ketika itu aku merasa bumi terlalu sederhana untuk dipijak. Gravitasi tidak lagi menarik hatiku karena ia dapat mengepakkan sayap nya terbang bebas, kapan saja ia mau, kemanapun ia suka. Mengapa harus memaksa kaki melangkah jika hanya dengan satu jentikan jemari aku dapat melayang ringan, menjelajahi ruang dan waktu. Mengapa harus menahan senyum saat aku bisa tertawa, terbahak-bahak memamerkan keceriaan. Mengapa harus memejamkan mata saat aku dapat terjaga memandang hamparan keindahan yang terbentang luas, tanpa batas.

Namun sungguh kesempurnaan bukan lah sesuatu yang sempurna karena ia tak dapat tergenggam selamanya. Bukan berupa gumpalan zat padat yang dapat kudekap erat dekat dengan debaran jantungku. Bukan pula cairan yang dapat kuteguk untuk selamanya mengalir dalam darah. Ia bahkan lebih ringan dari udara. Tak terlihat. Tak tergenggam. Hanya terhirup sesaat untuk kemudian terhembus pergi.

Aku telah merasakan remuk redam. Menjadi serpihan tipis yang melayang tak tertangkap oleh sepasang mata manapun. Dunia tempat kaki ini biasa berpijak seketika meluruh ke kedalaman tanpa dasar. Menyisakan lubang hitam menganga tanpa sejentik pun cahaya. Dan aku, sang serpihan tak berbentuk, terus saja melayang-layang di dalamnya. Semakin dalam. Semakin gelap. Semakin aku melawan naik, semakin jauh aku terhisap ke dalamnya. Maka kupasrahkan diriku tanpa daya. Aku berdamai dengan gelap. Aku bersahabat dengan sunyi. Dan aku meratap bersama ia yang lebih pekat dari hitam, lebih legam dari malam. Ia lah sang duka.

Sang duka mengajarkanku menangis, dan ia memperkenalkan aku pada air mata. Sungguh janggal bagiku merasakan butir-butirnya meleleh dari sudut mata, menjalari pipi, dan kemudian meninggalkan kecupan di bibirku. Kecupan yang sesekali masih terasa, meski masa datang silih berganti.”


I wish I could just erase all of those dark and painful memories. If only I could just drop them, leave them behind and never look back. But that's the thing about memories, they stay with you for as long as you live. Just like a glimpse of the beautiful ones can still make you giggle or smile goonily, a flash of the painful ones still hurts.

0 comments: